Senin, 28 Mei 2012

Ilusi Kekinian

agenda diskusi KOPHILOSOPHIA 18 Juli 2012

    Waktu yang dihayati sebagai yang linear akan menggerombolkan kata-kata setidaknya menjadi dua kubu yaitu lampau, dulu, kemarin, tadi, yang dapat dipisahkan secara ekstrem dengan besok, nanti, atau masa depan.
    Manusia modern, yang gandrung dengan cita-cita, ambisi, doa, efektif dan efisien(untuk tidak menyebutnya kuasa, hasrat, daya, mekanis dan rasional), seperti layaknya manusia pada masa peralihan dari kegelapan menuju terang, atau seperti memasuki masa perang dunia I dan II, membuat berbagai mitos penenangan untuk menaklukkan waktu. Yang lalu dianggap tidak lebih baik dari yang kini, yang nanti harus lebih baik dari yang sekarang. Pemangkatan percepatan seperti ini sepertinya sudah menjadi penyedap rasa wajib: tidak gurih tidak berasa, tidak bergerak tidak hidup. “Kamu kan bukan batu”, begitu sindir Iwan Fals agar segera mendapat jawaban, “iya atau tidak, itu saja.” Pelajarannya: cinta pun bisa sangat memaksa.  Jalur cepat, jalur lambat, slow down, cooling down, adalah seperti ritual sebelum semuanya kembali kepada percepatan yang nyaris tidak mungkin.
    Yang terberat adalah mengurai bombardir ilusi kekinian: kini yang mampu mengikat yang dulu dan sekaligus dengan serta merta meraih yang nanti.tidak hanya trainer, pemikir pun selalu terjebak di dalam ilusi ini.
    Terminologi ‘hadir’, ‘sein’, ‘mengada’, ‘otentik’, jika merujuk pada terminologi filsafat, yang kedalaman dan keluasannya harus dipahami dengan ketekunan dan kecermatan penghayatan terlebih dulu, bisa jadi hanya pemanis bibir sebelum tubuh yang satu kembali lintang pukang berjibaku kanan kiri.
    ‘Waktu timur’ yang siklis pun perlu dicurigai, apalagi kalau ia dipanggil dari jauh, seperti India, Cina, dan Jepang, semata hanya sebagai sebuah kata. Impor berbagai hal termasuk terminologi seperti ini, tanpa disertainya dengan adanya upaya untuk mengkaji lebih dalam konteks dan kesejarahan pemikiran tersebut hanya akan menjadi tambal sulam yang semakin carut marut. ‘Moksa’, ‘reinkarnasi’, atau versi modifikasi dari Nietzsche (1844 – 1900): ‘eternal return’ yang ia adaptasi dari sosok Zoroaster, nabi Persia hidup sekitar 1100 – 500 SM, untuk menyebut beberapa. Konsep waktu yang seolah ‘milik’ diri atau budaya sendiri pun pastinya memang harus lebih tajam dikritisi. Bukannya malah terbuka, tapi jadi berkaca mata kuda. Nyata atau maya, atau nyata yang maya, atau maya yang nyata. Atau maya pada, atau pada maya? Haha.  Mana satu yang tiada?
    Setidaknya, yang bisa kita lakukan adalah menelisik ulang tumpah tindih berbagai elemen biografis yang melibatkan pengalaman pribadi masing-masing, untuk perlu nantinya memberi batas apakah ilusi kekinian ini bekerja dengan mekanismenya yang dapat diindrai atau dinalar,  atau justru tidak. Jadi biarkan sajalah. Di ‘kini’ yang mana kita hadir? Karena toh yang ‘kini’ ini selalu melintas sebagai ‘hanya sekedar yang menjelang tadi’. Lintasan waktu kita yang selalu kritis inipun masih bisa dibentangkan, walau waktu tak pernah bisa ditaklukkan, kalau kita mau percaya bahwa diskusi ada gunanya.
    Termakankah kita oleh buaian ilusi kekinian, yang bisa jadi kita juga penjual dan kita juga pembelinya? Dari mana titik pandang yang paling bijak? atau memang tidak perlu?


Dien Fakhri Iqbal Marpaung

Sabtu, 12 Mei 2012

KEPEMILIKAN ATAU KEBERSAMAAN?

Agenda Diskusi 4 Juli 2012

    Kita sehari-hari tak pernas lepas dari topik ini sebenarnya. Mulai dari secangkir kopi dan teh dipagi hari. Siapa yang membuatnya, untuk siapa, milik siapa, atau bisakah kita cukup berbagi secangkir saja dan menikmati hari bersama?
    Terkadang kita ingin menikmati secangkir itu sendiri, tanpa harus berbagi. Adakalanya lebih menyenangkan bila kita berbagi.
    Ya, tentu saja bagi saya pribadi itu tergantung mood, situasi dan kondisi yang ada, serta dengan siapa. Terlebih bila orang itu meminta dengan cara yang baik dan berterima kasih dengan senyuman, berbagi itu menyenangkan.
    Saya pikir tak berbeda halnya dengan masalah yang lebih besar daripada secangkir kopi. Hal-hal seperti hak kekayaan intelektual, hak cipta, hak paten dan lain sebagainya.
    Siapa yang membuat? Siapa yang dapat mempergunakan? Siapa yang berhak membuat? Siapa yang berhak menerima keuntungan?
    Ada beberapa kasus yang saya ingat sempat hangat diperbincangkan. Salah satunya mengenai sengketa panjang antara negara kita dengan negara tetangga Malaysia. Saat tari pendet yang merupakan tarian yang berasal dari tanah Bali, muncul dalam iklan pariwisata Malaysia. Hal lain, saat dihancurkannya situs-situs berbagi-pakai file atas dasar perundang-undangan anti pembajakan yang baru-baru ini dikeluarkan Amerika.
    Pemikiran-pemikiran muncul dalam benak saya. Di satu sisi bila dilihat dari hal yang terjadi antara Indonesia-Malaysia, kita (Indonesia) merasa telah dirugikan. Telah dilanggar haknya karena keberasalan tari Pendet yang adalah hasil budaya bangsa ini telah dipergunakan dengan tanpa permisi untuk kepentingan dan keuntungan bangsa lain (Malaysia).
    Di sisi lain hal yang terjadi dengan pengesahan undang-undang SOPA dan PIPA yang dilakukan Amerika, telah membuat hampir sebagian besar warga dunia dirugikan (saya maksudnya). Situs-situs berbagi-pakai yang telah menjadikan saya merasa setidaknya sedikit lebih pintar berkat buku-buku gratis yang selama ini mudah didapat, kehilangan sumber kepintaran saya yang hanya sedikit itu.
    Tetapi tentu saja itu dibenarkan. Bagaimana tidak, hak cipta adalah hal yang harus dihormati dan undang-undang harus dipatuhi. Sebab ketika buku-buku yang seharusnya dibeli dan keuntungan diberikan pada mereka yang telah susah payah bekerja membuatnya, orang-orang yang tidak ikut bekerja membagikan dengan gratis sesuka hati mereka. Tentu saja itu melanggar hak.
    Akan tetapi dilihat dari sisi lain, informasi yang selayaknya diperuntukkan bagi semua golongan telah diputus. Informasi, kemudian jadi hanya tersedia bagi mereka yang memiliki biaya, tentunya.
    Lalu dimana letak batas yang seharusnya dibuat? Apakah memang kita harus terus mempertahankan dan menjagai apa yang memang dirasa milik kita? Apakah kita harus selalu menentukan kapan saat yang tepat untuk merasa memiliki, meminta hak atas kepemilikan kita? Atau kita serahkan saja pada orang-orang yang memiliki kuasa untuk menentukannya bagi kita? Atau apakah kita bisa cukup hidup dengan keberbagian, kebersamaan saja?
Atau apa? Bagaimana? Mungkinkah?
Ah, mungkin ocehan saya tak perlu dihiraukan.


Permata Andhika Raharja

IKATAN

 Agenda Diskusi 20 juni 2012

(1)    
Sekitar lima tahun lalu, ketika salah satu om saya meninggal, saya meminta izin kantor untuk meninggalkan pekerjaan saya pada hari itu agar bisa melihat jasadnya untuk terakhir kali dan menghadiri pemakamannya. Tidak hanya saya, keluarga yang tinggal di seberang lautan pun berusaha semaksimal mungkin untuk datang; mencari dan memesan tiket pesawat dengan jadwal tercepat, takhirau meski biaya tiket yang dikeluarkan dua kali lipat harga jika memesan jauh-jauh hari. Keluarga yang masih memiliki anak kecil, jika sang anak tidak dapat dibawa serta, berupaya mencari sahabat atau kolega dimana ia dapat menitipkan anaknya sementara ia sedang melayat sang om. Singkatnya, kami, dari segala penjuru, berkumpul di rumah om pada hari itu untuk melihatnya terakhir kali, mendoakan,dan menghibur istri dan anak yang ditinggalkan. Sebab kami merasa memiliki ikatan kekeluargaan.

(2)      
Ketika kita dilahirkan ke dunia ini, senyum indah menyertai kita. Tiada kata yang dapat terucapkan selain senyum gembira melihat keajaiban yang begitu besar ini. Mimpi, harapan, dan cita-cita pun tersirat untuk kita di dalam hati orang tua. Pengorbanannya sangat luar biasa membesarkan kita. Seluruh keringat dan lelahnya hanya untuk kita. Saat kita lahir, separuh nyawa dikorbankannya untuk menghadirkan kita ke dunia. Ini adalah kalimat pembuka sebuah rekam gambar yang berjudul “Pengorbanan Ibu saat Melahirkan hingga Anaknya Dewasa”. Cerita tentang para ibu yang tetap mencurahkan kasih sayangnya pada anak, bagaimanapun perilaku anak itu terhadapnya, adalah cerita nyata yang selalu mengharukan. Pengorbanan itu tidak hanya hadir, namun juga diiringi dengan senyum tulus. Mengapa itu bisa terjadi? Mungkin, karena adanya ikatan darah.

(3)    
Di antara sejumlah kawan yang pernah hadir dan mengisi hari-hari kita, mungkin ada beberapa kawan yang kehadirannya memiliki makna lebih dalam dibanding yang lainnya. Bersama mereka, kita dapat berbagi cerita hingga rahasia apapun.  Bersama mereka, ada perasaan nyaman yang tidak didapatkan bila bersama kawan-kawan yang lain. Hubungan ini biasanya kita namai dengan ikatan persahabatan.

(4)
Dua orang yang memiliki ketertarikan satu sama lain, lalu masing-masing melihat ada “masa depan” di mata  yang lainnya, bersepakat “menyatukan diri” melalui ikatan pernikahan.

***
Kata ikatan juga kerap dipakai untuk nama perkumpulan, seperti ikatan dokter Indonesia, ikatan akuntan Indonesia, ikatan alumni (unpad, itb), dan lainnya. Bila dalam KBBI kita mendapati definisi “ikat” adalah tali (benang, kain, dsb) untuk mengebat (menyatukan, memberkas, menggabungkan), dan “ikatan” adalah adalah (sesuatu) yang telah diikat; cara mengikat , lalu, apa makna “ikatan” dalam hubungan antar manusia? Mengapa manusia mau terikat atau mengikatkan diri dalam “ikatan”? Apa dampak dari adanya “ikatan” ini? Haruskah “ikatan” itu ada? Apa bedanya “ikatan” dengan “belenggu” yang memiliki definisi sesuatu yang mengikat (KBBI)? Mengapa dinamai dengan "ikatan", mengapa bukan "belenggu" (belenggu kekeluargaan, belenggu darah, belenggu pernikahan, dst)? Apakah "ikatan" itu berlawanan dengan "kebebasan"? Atau justru berlawanan dengan "perpisahan"? Lalu, jenis ikatan apa saja yang kamu sekarang ada di dalamnya? Apakah kamu merasa mengikatkan diri atau terikat (baca: terjebak) dalam ikatan itu?

Salam,


Ananda Putri Bumi

RUMAH



Agenda Diskusi 6 Juni 2012


dalam rumah ini, aku selalu bercakap dengan cermin.
selalu berkaca, menerka-nerka siapa yang akan tiba
dan bertanya tentang tidurku tadi malam:

                “karena selalu ada mimpi tentang senja, jatuh
berserakan, seperti kepingan doa yang recah bertanggalan
dari atap-atap rumah kita.”

di sana tersimpan wajahku. sendiri saja. mengunyah
usia: melepas segala musim dan peristiwa—

dan di setiap pagi aku hanya menjelma sebagai buih
embun yang menguap dari pucuk-pucuk cemara: kucumbui
langit, kukencani bunga-bunga. kuguntingi matahari,
kujadikan pilar-pilar pagoda—

berharap hinggap di keluasan cahaya: rumah
yang akan mempertemukan kita.

                “tuhan, tak adakah cemas yang lebih sempurna?”


1993/1998

MENCURI KEPINGAN WAKTU

Agenda Diskusi 23 Mei 2012

        Fotografi kini menjadi semakin mudah dengan kian majunya teknologi digital. Proses penguasaan teknik fotografi yang dulu membutuhkan waktu cukup lama, kini dapat dilalui dalam tempo yang relatif jauh lebih singkat. Ditambah lagi dengan semakin pesatnya pertumbuhan dunia jejaring sosial sebagai salah satu media yang paling populer untuk saling berbagi imaji. Orang semakin bersemangat memotret, untuk kemudian dibagi dengan teman-teman di dunia maya.

        Dari mulai foto kegiatan komunal, keseharian, makanan kegemaran, hewan peliharaan, acara nongkrong dengan teman, sampai jenis-jenis foto artistik dengan teknik mumpuni, semua dapat kita temui di internet. Jejaring sosial semacam Facebook, Twitter, deviantART, hingga Instagram yang baru-baru ini meroket popularitasnya, siap memfasilitasi para pengguna untuk mempublikasikan foto pada dunia.

        Kita berada dalam sebuah pusaran badai imaji. Bingkai-bingkai gambar menerjang penglihatan kita, nyaris tanpa kendali. Tiap orang kini bisa memotret sambil lalu, kemudian mempublikasikannya secara instan pada jejaring sosial mana saja yang dia hendaki. Lalu apa yang istimewa dari fotografi kini? Dalam bisingnya hiruk pikuk visual ini, apakah makna sekeping imaji?


Desiyanti Wirabrata

KESENDIRIAN

Agenda Diskusi 9 Mei 2012   


Sendiri. Tak ada sesiapa. Solitude. Dikatakan manusia adalah mahkluk sosial, yang hakikatnya adalah berkawan, berkelompok, namun kesendirian adalah keniscayaan. Kesendirian memaksa kita untuk mandiri, self-sufficient, tak bergantung pada orang lain, secara fisik maupun emosional. Kita sering melihatnya di film-film. Tokoh utama yang penyendiri, tidak bergantung pada siapapun, melawan mayoritas yang korup. Mereka senantiasa berada dalam kesendirian.

    Kesendirian seringkali beririsan dengan kesepian. Pada dasarnya, kesendirian dan kesepian berbeda. Kesendirian adalah keadaan tanpa ditemani oleh orang lain, sedangkan kesepian adalah perasaan sepi, jiwa yang kosong, kering, dan dingin. Wajarnya, kita bisa menikmati kesendirian, namun bagi jiwa-jiwa yang kesepian, kesendiran adalah siksaan yang membuat tubuh terasa berat, paru-paru memaksa menghela nafas panjang, dan pikiran negatif menyergap dari segala penjuru ruang.

Di saat-saat tertentu dalam hidup kita, kita butuh kesendirian. "Everybody needs some time on their own..." --Gun 'n Roses - November Rain.


Dan tak perlu sendirian untuk merasa kesepian. "Di tengah keramaian aku masih merasa sepi..." --Dewa - Kosong.

    Hari-hari ini, seiring dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi langsung semakin digantikan dengan komunikasi sekunder. Seorang teman pernah berkata, "Facebook itu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh." Senada dengan itu, pernah juga kutemui kutipan di internet yang menyatakan bahwa "being online means being alone together." Jutaan orang terhubung satu sama lain, dan semuanya berada dalam kesendiriannya masing-masing.

    Jiwa yang sehat dapat menikmati kesendirian. Kesendirian saat menulis, saat membaca, saat bermain game, saat jalan-jalan, dsb. Namun, perhatikanlah bahwa ada kesendirian palsu yang hadir menutupi rasa kesepian. Semacam berkata, "Aku sendiri karena aku memang ingin sendiri", padahal sebenarnya, "Aku sendiri karena tidak ada yang mau menemaniku."

"I work alone."

 "By choice? Or because nobody else can stand you?"
    Sudah diketahui umum bahwa loners are freaks. Suka menyendiri sering diasosiasikan dengan berbagai personality disorder seperti avoidant personality disorder, social anxiety, dan schizoid personality disorder.

    Jadi, para penyendiri yang terlihat keren di film-film itu mungkin sebenarnya punya masalah psikologis yang cukup parah.



Harun Suaidi Isnaini, 8 Mei 2012
Ditulis dalam kesendirian dan badan ayang agak meriang

Jumat, 30 Maret 2012

Pada Kedataran Kanvas: Menimbang Lukisan ala Greenberg


Pada Kedataran Kanvas: Menimbang Lukisan ala Greenberg

Oleh Heru Hikayat
“First we went through a couple of rooms where the pictures aren’t pictures of anything, just splodges, and then we get to our bit, the new exhibition, there aren’t many pictures at all….”
Nick Hornby in Nipple Jesus
The Art Book, terbitan Phaidon, sebuah “kamus gambar”. Isinya berupa deretan gambar karya para seniman barat, disusun berdasar kronologi alfabet. Tiap-tiap seniman 1 halaman, 1 gambar karya. Buku ini berguna jika sekali waktu ada orang menyebutkan nama seniman, tapi kita lupa-lupa ingat karyanya semacam apa. Buku ini tidak berguna jika kita ingat visual karya, tapi tidak ingat nama seniman. Buku ini juga tidak berguna, jika kita sama sekali tidak tahu-menahu sejarah seni rupa barat. Mudah dimengerti, kenapa yang disebut “art” (diterjemahkan “seni”), yang disebut “artist” (diterjemahkan “seniman”), sebagian besar adalah pelukis. Sedikit pematung, beberapa karya instalasi, enviromental art, fotografi, artefak performance art. Empat kategori yang disebut terakhir sepintas tampak hanya jadi pelengkap. Saat ini saya bahkan tidak ingat ada karya seni grafis atau keramik dalam buku itu.
Tiap gambar karya disertai teks aforisme. Teks bersifat menjelaskan. Tidak tentang senimannya, tapi tentang nilai lebih kekaryaannya secara menyeluruh. Penjelasan tentang pilihan pemuatan gambar karya tertentu di buku, kita dapatkan lebih tersirat. Seperti disebutkan di atas, buku ini berguna untuk mengingat-ingat, kalaupun untuk menjelaskan, hanya jadi alat bantu.
Teks di bagian Paul Cezzane mulai dari penjelasan lukisan berjudul Mont Sainte-Victorie, tahun 1885/95. Dijelaskan subjek lukisan adalah pegunungan di Prancis Selatan. Daripada menekankan perbedaan warna berdasarkan perubahan yang dipengaruhi cahaya dan pembayangan, Cezzane merubah warna-warna itu sendiri. egunungan dan lanskap di sekitarnya telah disederhanakan menjadi bidang-bidang geometris dan “dataran” warna. Hasilnya bukanlah lukisan yang taat mereproduksi pemandangan, tapi pembentukan variasi warna dan volume melalui interaksi-antara cahaya dan pembayangan. Pencapaian artistik ini dihasilkan dari paduan studi langsung ke lapangan dan rasa (sense) kebentukan klasik. Reduksi Cezzane atas alam menjadi bidang geometris sederhana dan penggunaan warna-warna tegas, memengaruhi karya-karya Kubis dan Fauvis di masa setelahnya.
Mont Sainte-Victoire (1882–1885), Cézanne
Mont Sainte-Victoire (1882–1885), Cézanne
Mont Sainte-Victoire (1885–1887), Cézanne
Mont Sainte-Victoire (1885–1887), Cézanne

Kalau mengingat-ingat bagaimana dulu guru seni rupa di sekolah mengajarkan pewarnaan atau teknik arsir gelap-terang berdasarkan pengaruh cahaya dan pembayangan di alam, Cezzane-lah yang merintis jalan menghindarinya.
Di bagian Claude Monet, komentar Cezzane menjadi penutup teks: “hanya sebuah mata, tapi Tuhan betapa mata itu!” Dijelaskan, ketika Manet membangun taman-air (water-garden) di rumahnya di Giverni, ia mulai melihat kemungkinan-kemungkinan piktorial tertentu. Taman itu menjadi subjek lukisannya berkali-kali hingga ia meninggal. Seri lukisan tentang taman itu, yang dibuat pada musim panas 1899 dan 1900, merefleksikan variasi konstan cahaya dan udara, menyeluruh di permukaan kolam waterlily. Gambar yang disertakan di buku adalah lukisan Waterlily Pond, tahun 1899.
“Berkilau oleh paduan warna-warni dan pantulan, lanskap ini dipenuhi hawa segar dan diselimuti cahaya. Monet memenuhi kanvasnya dengan sapuan individual warna-warni yang beda, menciptakan serupa kabut bebiruan, memerahan dan hijau-hijauan, serupa cercah cahaya di atas permukaan air. Inilah pencapaian Monet”. Demikian cara The Art Book mendeskripsikan–ngawawaas–karya Monet. Terakhir, Monet ditegaskan bukan hanya sebagai tokoh penting dari gerakan Impresionis, lebih dari itu eksperimen-eksperimennya dengan cat, warna dan cahaya, telah memformulasikan acuan awal bagi seni lukis abstrak.
Greenberg meneladani kritisisme rintisan Imanuel Kant. Ia yakin ini adalah jantungnya modernisme–menggunakan karakteristik metoda dari satu disiplin untuk mengkritik disiplin itu sendiri, bukan untuk mensubversi, melainkan untuk mendalaminya, mengokohkan pada area kompetensinya sendiri. Sementara modernisme, adalah paradigma pertama dan utama dari seni modern. Mendiskusikan konsep Greenberg barangkali menjadi satu cara untuk menyadari kemodernan seni. Pilihannya jatuh pada suatu alur perkembangan lukisan.
Greenberg menyatakan aktifitas seperti agama tidak mampu mengambil keuntungan dari kritisisme imanen Kantian untuk menjustifikasi dirinya sendiri. Seni sempat juga tampak akan bernasib serupa. Seni tampak hanya akan diasimilasikan secara murni dan sederhana dengan hiburan, sementara hiburan, seperti halnya agama, tampak seakan diasimilasikan dengan terapi. Seni dapat menyelamatkan diri dari penurunan level ini hanya dengan mendemonstrasikan bahwa jenis pengalaman yang ia tawarkan bernilai secara tersendiri dan tidak bisa dibaurkan dengan jenis aktifitas lain.
Tiap seni harus mendemonstrasikan hal ini secara tersendiri juga. Keunikan dan ketidak-tereduksian (irreducible) yang harus ditunjukkan dan diperjelas bukan saja menyangkut seni secara general, melainkan menyangkut tiap-tiap seni secara partikular. Greenberg terus menegaskan, tiap jenis seni harus mendeterminasikan melalui operasi yang khusus miliknya sendiri, juga dengan dampak-dampak yang ekslusif miliknya sendiri. Dengan melakukan ini, tiap seni akan mempersempit area kompetensinya, tapi secara bersamaan akan memantapkan area kepemilikannya.
Rumus yang ditawarkan Greenberg untuk lukisan adalah mulai dari pertanyaan, apa sesungguhnya kelebihan yang dimiliki lukisan–benar-benar milik lukisan dan tidak dimiliki jenis seni yang lain? Cara bertanya seperti ini berlaku untuk jenis-jenis seni yang lain, untuk terus menelusuri keunikan masing-masing. Inilah semangat kritisisme Kantian. Inilah kesadaran modern yang ditawarkan. Titik awal niscaya dilatari alasan-alasan dan diikuti berbagai konsekuensi.
Area kompetensi tiap seni bermula dari keunikan natural mediumnya. Tugas kritisisme-diri menjadi soal eliminasi efek dari tiap seni dan semua efek yang mungkin terpikirkan sebagai pinjaman dari/oleh medium seni jenis lain. Dari sini Greenberg merumuskan soal kemurnian. Kemurnian yang jadi standar kualitas sekaligus independensi. Lebih dari itu, kemurnian dikemukakan sebagai pendefinisian-diri.
Menarik, Greenberg menganggap ada upaya berani dari kritisisme-diri dalam seni yang menjadikan pendifinisian-dirinya penuh dengan semacam pembalasan dendam. Realistik, yaitu “seni ilusionis”, telah mengurai medium, menggunakan seni untuk menyembunyikan seni. Maka kaum Modernis menggunakan seni untuk memusatkan perhatian pada seni. Batas-batas yang mengkonstitusikan medium lukisan –kedataran permukaan, bentuk kalangnya, properti berupa cat– diperlakukan oleh Old Masters sebagai faktor negatif yang hanya bisa dikenali secara tersirat atau tidak langsung. Lukisan Modernis membalikan batasan-batasan tersebut menjadi faktor positif yang justru harus dikemukakan secara terbuka.
Greenberg menjunjung kaum Impresionis sebagai perintis. Impresionis dalam aras rintisan Manet mengenyahkan lukisan/sketsa dasar dan teknik kilauan cahaya, agar mata tanpa keraguan tertuju pada fakta bahwa warna-warni dihasilkan dari cat sungguhan yang berasal dari kaleng atau tube. The Art Book memujinya sebagai terobosan artistik, Greenberg menyebutnya kejujuran. Sementara Cezzane dipuji Greenberg atas pengorbanan kemiripan atau penampakan nyata/benar, demi menyesuaikan drawing dan rancangan secara lebih eksplisit pada bentuk persegi kanvas. Greenberg terus fokus pada kedataran kanvas, yaitu pada sifat dua-dimensional. Kedataran ini secara provinsial milik lukisan, dan tidak bisa dimiliki seni jenis lain. Sangat logis jika lukisan Modernis mengarahkan dirinya pada hal ini, dan tidak pada yang lain.
Greenberg tampak bersemangat memaparkan arah pergerakan lukisan dalam upayanya melawan saingan terdekatnya: seni patung. Perlawanan ini telah dimulai jauh sebelum masa Modern. Harus diakui bahwa lukisan Barat dalam usaha kerasnya mewujudkan ilusi realistik, berhutang banyak pada seni patung. Seni patung dari semula mengajarkan bagaimana membentuk dan memodelkan melalui ilusi relief, bahkan mengajarkan bagaimana mendisposisikan ilusi itu dalam sebuah ilusi komplementer dari kedalaman ruang.
Para pelukis Old Master dalam rangka mempertahankan integritas bidang gambar, menyampirkan kedataran di balik kekuatan ilusif ruang tiga-dimensional. Bagi Greenberg, kondisi ini sesungguhnya kontradiktif. Justru kejelasan kontradiksi ini yang menjamin kesuksesan seni mereka, bahkan semua seni piktorial. Lalu kaum Modernis tidak memecahkan maupun menghindari kontradiksi ini. Mereka hanya membalikan termanya: seseorang dibuat sadar akan kedataran sebelum, bukan sesudah disadarkan tentang apa isi kedataran itu. Di mana pun seseorang melihat apa yang ada di dalam sebuah karya Old Master sebelum melihatnya sebagai gambar, ia melihat karya Modernis sebagai gambar dulu. Greenberg terus menekannya dengan menyatakan, bahwa tentu saja hal ini adalah cara terbaik melihat gambar, baik Old Master maupun Modernis. Tapi kaum Modernis menegaskannya sebagai satu-satunya cara, dan usaha mereka sukses. Dengan demikian ini merupakan kesuksesan kritisisme-diri.
Fase perkembangan terakhir lukisan Modernis, yaitu pengenyahan representasi objek yang bisa dikenali, tidak penting bagi Greenberg. Apa yang dienyahkan secara prinsipil adalah representasi dari suatu ruang yang bisa dikenali. Ruang yang bisa dihuni oleh objek tiga-dimensional. Hingga Ke-abstrak-an atau non-figuratif, tidak menjadi bukti pada dirinya sendiri dari momen kritisisme-diri dari seni piktorial–walaupun seniman hebat semacam Kandinsky dan Mondrian mengira begitu. Representasi ataupun ilustrasi tidak mengurangi keunikan dari seni piktorial. Asosiasi pada hal yang direpresentasikan, itulah yang menguranginya. Semua entitas yang dikenali (termasuk gambarnya sendiri) mengada dalam ruang tiga-dimensional. Misalnya penonjolan fragmentasi dari sillhouette figur manusia atau cangkir teh, akan mensugestikan asosiasi dengan ruang yang sama. Hal ini mengalienasi ruang piktorial dari kedua-dimensian yang sesungguhnya menjamin independensi lukisan sebagai seni. Ketiga-dimensian adalah wilayah seni patung, maka demi otonomi dirinya, lukisan harus mengutamakan upaya mengurai apapun yang mungkin terbagi antara dirinya dan seni patung. Dalam rangka inilah, bukan dalam rangka mengenyahkan sifat representasional ataupun ke-literer-an, lukisan mengabstraksi diri.
Greenberg tidak setuju dengan penekanan prestasi kaum Impresionis dalam hal warna-mewarna. Kaum ini bagi Greenberg lebih mempersoalkan pengalaman optikal. Suatu pengalaman optikal yang murni dan literer, bukan pengalaman optikal yang dimodifikasi atau direvisi oleh asosiasi sensasi rabaan. Dari titik ini Greenberg merumuskan alur perkembangan lukisan Barat hingga pada titik “kanvas begitu datar hingga tak bisa lagi menampung citraan yang bisa dikenali”.
Alur perkembangan tersebut bukannya tanpa masalah. Bukan tanpa dialektika. Dialetikanya berpusar pada soal esensi dan konvensi. Makin esensial norma atau konvensi dari disiplin tertentu, batas-batas pun makin mengetat, hingga mengurangi kebebasan. Tapi batasan ini penting agar lukisan tetap bisa dialami sebagai gambar. Modernisme dinyatakan telah mampu menghela kondisi keterbatasan ini secara non-defintif, sejauh mungkin, sampai titik sebelum sebuah gambar berhenti menjadi gambar dan berubah menjadi objek arbitrari. Di samping itu, Modernisme juga menemukan masalah, makin jauh batas-batas ini dihela, makin besar tuntutan untuk mengobservasi mereka secara eksplisit.
Greenberg mengemukakan contoh masalahnya pada lukisan Mondrian. Lukisan Mondrian dipenuhi persilangan garis-garis hitam tebal dan bidang-bidang segi empat yang dipenuhi warna-warna primer nan tegas. Hanya itu, hingga kita tak dapat lagi membayangkan gambar apapun di dalamnya. Ketegasan ini kemudian menjadi norma yang meregulasi kekuatan dan kekomplitan baru. Dengan berlalunya waktu, seni Mondrian terbukti jauh dari menjelekan bahaya ke-arbitrer-an dari absennya model di alam. Bahkan, seni Mondrian terbukti terlalu disiplin. Dalam batas tertentu juga terlalu terkurung konvensi. Sekali kita terbiasa dengan keabstrakannya yang penuh, kita menyadari bahwa karyanya lebih tradisional dalam warna, juga dalam hal penghormatannya secara berlebihan pada bingkai–lebih daripada karya-karya Monet terakhir.
Greenberg pun mengakui pemetaan rasionalisasi seni Modernisnya tidak mungkin tidak menyederhanakan dan melebih-lebihkan. Kedataran, ke mana lukisan Modernis mengarahkan dirinya, bukanlah kedataran sebenar-benarnya. Peningkatan sensitivitas bidang gambar barangkali tidak lagi menyediakan ilusi kepatungan, tapi tetap mustahil menghindar dari penyediaan ilusi optikal. Jejak pertama yang ditorehkan pada permukaan bidang gambar, menghancurkan kedataran virtualnya. Konfigurasi pada sebuah karya Mondrian masih menyarankan sesuatu dimensi ketiga, hanya saja kini sepenuhnya piktorial, sepenuhnya dimensi ketiga yang piktorial. Saat kaum Old Master menciptakan ilusi ruang di mana kita bisa membayangkan diri kita berjalan di dalamnya, ilusi yang diciptakan seorang Modernis hanya bisa dilihat, hanya bisa ditelusuri dengan mata.
Di titik ini seni rupa bisa dibilang bermain mata dengan sains. Perkaranya adalah spesialisasi dalam pengertian konsistensi saintifik. Apalagi keistimewaan seni rupa kalau bukan perkara pengalaman visual?
Clement Greenberg disebut-sebut sebagai paus-formalisme Amerika Serikat. Ia seolah menjadi tonggak dan benteng terkuat dari pemunculan nilai kebebasan dalam seni, ala Amerika. Bagian yang belum didiskusikan dalam tulisan ini adalah keyakinan Greenberg bahwa kritisisme-diri kaum modernis dijalani sepenuhnya sebagai spontanitas dan secara ambang-sadar (subliminal). Ditegaskannya, bahwa kritisime itu dipertanyakan terus dalam wilayah praktek, bahkan imanen pada praktek dan tidak pernah menjadi topik dari teori. Maka masalah utama segala teori seni adalah relevansi dengan praktek dan pengalaman seni. Greenberg memang memuja intuisi. Baginya bahkan pemirsa hanya bisa menghargai seni dalam keadaan termenung-sendirian. Mark Rothko dipuji karena warna-warnanya tampak bervibrasi, menunjukan kualitas “mistis”.
Persis di sini para pengkritik Greenberg menemukan peluang. Kesuksesan formalisme Amerika dengan latar kekuatan pemikiran tokoh besar semacam Greenberg justru menjadi bukti bahwa seni tidaklah benar-benar independen, tidak imanen pada praktek. Teori-teori berpengaruh dari pemikir semacam Greenberg menguatkan kesan bahwa karya seni punya ketergantungan tertentu pada teks tertulis.
Kondisi kemodernan lukisan di Indonesia tidak bermula dari penjarakan kanvas dari narasi ataupun ajaran untuk mengeliminasi efek-efek yang tidak perlu demi mengejar kemurnian. Kritisisme imanen yang dipuja-puji Greenberg pun barangkali berkesan terlalu sekuler di sini.
Tulisan ini menggaris-bawahi penyadaran pada keunikan medium dan cara menyadari kemodernan secara spesifik pada masing-masing disiplin seni; bukan soal keberlawanan abstrak dengan representasional atau figuratif versus non-figuratif misalnya. Apakah itu modern, apakah itu seni modern, apakah itu lukisan modern, dan seterusnya. Ini merupakan satu perspektif dalam mendiskusikan modernisasi lukisan. Perspektif ini toh bukan kebenaran mutlak. Seperti halnya seni yang selalu menggeliat, membebaskan diri dari rumusan yang terlalu defnitif. Bukan berarti tidak bisa dijelaskan sama sekali. Dalam hal lukisan, harus disadari bahwa kanvas adalah konstruksi. Sesuatu mitos yang telah dicanangkan dari satu masa, dalam suatu konteks kultural. Kanvaslah yang meneguhkan nilai lebih lukisan, menjulang mengatasi seni jenis lain. Mendiskusikan kanvas berarti menyoal premis-premis yang meninggikan hirarki lukisan dalam kerangka seni modern: menyadarinya menjadi tugas kita, generasi yang mewarisi konstruksi tersebut.

Panorama 9, 12 Juli 2005
– Heru Hikayat, kurator.

————
Tulisan ini pertama kali dipresentasikan sebagai materi tutorial dalam Workshop Seni Lukis di Jurusan Seni Rupa UPI [Universitas Pendidikan Indonesia], diselenggarakan atas inisiatif Rumah Proses, Bandung: Juli 2005.
Gagasan ini pun pernah didiskusikan di Madrasaf Malsafah, di bulan April 2010.