Rabu, 08 Februari 2012

Berdamai dengan Masa Lalu


“Waktu adalah sesuatu yang cair. Masa lalu, masa kini, dan masa depan tidak berada pada garis kontinum yang lurus. Mereka saling kait mengait, jalin menjalin.”

“Berdamai” dengan masa lalu. Banyak yang berpendapat mengenai masa lalu.
Ada yang mengatakan “Past is past, we live to day, this time, here, now.” Ada juga yang mengatakan “Past is something we left behind, dont bother to look back. Look forward.” Lainnya berkata “Forgiven but not forgotten.” Beberapa yang lain “Masa lalu itu seperti hantu, ada tapi tak terlihat. Kita tak tahu kapan ia datang mengganggu.”Banyak lagi yang lainnya. Lalu apa masa lalu bagi mu? Apakah berdamai itu perlu? Mengapa?

Permata Andhika Rahardja

Mencari Inspirasi atau Membuat Masalah?


Pada satu waktu di masa depan, manusia hidup di Kota Bawah Tanah. Mereka hidup teratur. Tiap orang telah punya “takdir” yang dijalani sesuai dengan sejumlah pilihan yang telah ditetapkan “adat” warisan “leluhur”, yaitu para pendiri kota. Tapi keteraturan mereka mulai terganggu, disebabkan oleh tanda-tanda kerusakan pada Generator—sumber energi satu-satunya.
Tersebutlah Lanang, seorang remaja lelaki. Di Kota Bawah Tanah semua remaja, saat lulus  sekolah, akan mengikuti undian yang menentukan profesi mereka. Profesi yang akan dijalani seumur hidup dalam keteraturan masyarakat mereka. Lanang tak hendak menerima pekerjaan di sistem pengairan. Ia ingin bekerja di Generator karena ingin memperbaiki kerusakan dan menyelamatkan masyarakat.
Keengganan Lanang berkembang jadi kegelisahan. Ketika kerusakan Generator makin kerap, makin terasa mengancam kelangsungan hidup mereka, Lanang mulai beraksi. Gadis—seorang remaja putri yang juga gelisah—bergabung dengan Lanang.  
Masyarakat Kota Bawah Tanah punya sejumlah kebiasaan dan ritual untuk memastikan ketetapan dalam hidup mereka. Kegelisahan Lanang dan Gadis tak punya tempat dalam masyarakat mereka. Mereka berdua jadi pasangan anak muda yang aneh. Wali kota, para guru, orang tua terus menerus meyakinkan mereka tentang kekuatan adat, warisan leluhur yang tak kan mungkin gagal menjamin kelangsungan hidup masyarakat.
Ketika krisis makin meningkat—kegelapan menyelimuti kota, wali kota ketahuan menyembunyikan makanan dari persediaan yang makin menipis—Lanang dan Gadis jadi pembuat onar dalam masyarakat.
“Keonaran” yang ditimbulkan Lanang dan Gadis sedikit demi sedikit menguak sejumlah petunjuk dari leluhur. Sesungguhnya para leluhur merancang kota bawah tanah untuk menyelamatkan umat manusia dari kepunahan. Ketika permukaan Bumi tak lagi layak huni, manusia harus menghindarinya sementara waktu. Kota Bawah Tanah dirancang untuk dihuni selama 20 generasi dan para leluhur telah meninggalkan sejumlah petunjuk pada warga agar pada waktunya mereka bisa kembali hidup di permukaan Bumi. Petunjuk warisan hilang ditelan jaman. Masyarakat bawah tanah malah memelihara mitos tentang ketetapan dan kepastian dalam hidup mereka.
Lanang dan Gadis, si pembuat onar, berhasil memecahkan petunjuk dan merintis jalan untuk kembali ke permukaan bumi. Kegelisahan, ketidak-bertempatan mereka, dan sejumlah masalah yang mereka timbulkan pada akhirnya menyelamatkan umat, mengembalikan manusia pada takdir asalinya: hidup menjelajahi permukaan bumi.

(Heru Hikayat)

Aku dan Kopi


Syahdan, Sheik Abd al-Qadir pernah berujar, “tak ada seorang pun yang akan memahami kebenaran sampai dia meneguk buih kebaikan kopi.” Hampir senada dengan ujaran tersebut, Sir James Mackintosh, seorang ahli hukum, sejawaran, dan politisi asal Skotlandia, meyakini bahwa “kekuatan pikiran manusia secara langsung diproporsikan dengan kuantitas kopi yang diminumnya.” Bagi para pecinta dan peminum kopi, kopi adalah teman yang paling baik untuk berbagi.

Akan tetapi, di balik seteguk “kebenaran” dari buih kopi itu, sesungguhnya kopi memiliki sejarah dan begitu banyak cerita yang sungguh luar biasa.

Sampai hari ini, kopi boleh dipandang sebagai salah satu komoditas penting dalam perdagangan dunia. Menyimak dari perjalanan sejarahnya, terutama di era kolonialisme, kopi selalu mengundang proteksionisme, penindasan, dan kehancuran. Warisannya masih tetap terjaga sampai hari ini. Ada begitu banyak kalangan yang meyakini, sistem perdagangan kopi pada saat ini merupakan “simpul yang rumit yang terjalin dari ekonomi, politik, dan kekuasaan, sebuah arena yang ditapaki oleh para raksasa; oleh beberapa perusahaan transnasional terbesar di dunia, oleh negara/pemerintahan yang memiliki kekuasaan besar, dan oleh perdagangan kartel yang sangat luas.”

Jika memang begitu yang berlaku, lalu bagaimana dengan “si aku”, sang penikmat kopi yang senantiasa berharap kopi bisa tersaji di saat ingin berbagi? Haruskah “si aku” memikirkan sampai pada konteks perdagangan kopi yang rumit itu?

Barangkali, memang tak perlu. Hanya saja, untuk sekadar informasi, dari secangkir kopi yang Anda beli di sebuah gerai ternama, ada yang pernah menghitung, hanya 1% dari harga yang harus Anda bayar itu yang diterima petani kopi; dan hanya 6% yang akan diterima petani jika Anda membeli sebungkus kopi yang terjaja di supermarket. Nah, kemana selebihnya?

Black Gold (2006), film dokumenter garapan Marc and Nick Francis, bercerita tentang bagaimana perdagangan kopi internasional dan konsekuensi yang harus diterima oleh para petani kopi. Boleh jadi, barangkali, setelah menonton film ini, “si aku” akan menemukan pengalaman baru, debar lain, dari buih kopi yang direguknya itu.

Moh. Safari Firdaus

ATAS NAMA CINTA


Atas nama cinta, aku menjemputmu, singgahi altar-altar yang tak berbatas waktu ~ @papameong

Di era Socrates hidup, ia pernah mengemukakan bahwa tujuan tertinggi dari cinta adalah menjadi seorang filsuf. Namun masihkah relevan di era sekarang yang serba post (sebagai reaksi perlawanan pada yang telah mapan)? Mungkin masih, atau naif, bahkan munafik.

Atas nama cinta, segala utuh. Kehidupan akan lebih punya makna atasnya, tinggal bagaimana mengenalinya. Bagi manusia, memahami sifat-sifat sebagai manusia merupakan langkah awal menafsirkan asal-usul cinta, setelahnya bersama waktu ia hadir. Schopenhauer menyebutnya sebagai kekuatan yang sangat kuat namun tak terlihat, deras tersemayan di dalam jiwa, dan secara dramatis akan membentuk, merawat, hingga meniadakan dunia.

Cinta mampu melawan gravitasi bumi, bahkan mampu membuat kokoh bukit dan gunung menari. Namun demikian, segala yang beratas namakan cinta, juga mampu tercipta rasa takut di tengah-tengah laut ketakutan sekalipun. Hal inilah yang membuat Alcestis, salah satu putri dalam mitologi Yunani kono, mau dan mampu mempercepat kematiannya atas nama cinta, kekasihnya.

Atas nama cinta saja, selebihnya mungkin hanya akal-akalan akal manusia, drama. Cinta seperti apa yang kau punya dan hendak kau tawarkan? Hingga seberapa kuat dan tulus kau mengatas namaikannya?

Dicky Kurniawan
(15 Februari 2012)

Jumat, 03 Februari 2012

Cerita Di Balik Secangkir Kopi

“Apa yang kita konsumsi dengan pengetahuan yang kita miliki
kadang-kadang ada yang sinkron juga tidak,
artinya ini akan berhubungan dengan kesadaran kita
sebagai manusia dalam mengkonsumsi sesuatu”.(Rosihan Fahmi)


    Agenda pertama KOPHILOSOPHIA yang diselenggarakan pada Rabu 1 Februari 2012 terbilang meriah. Kedatangan teman-teman dari berbagai profesi untuk membicarakan hal ihwal kopi dari jenis kopi, sejarah kopi, nama-nama kota dengan ciri khas tersendiri untuk menikmati kopi, semuanya berbicara tentang kopi.
    Sekitar pukul 5 sore itu, setelah audiens yang datang mendapatkan tempat duduknya, Rosihan Fahmi, Tukang Filsafat keliling, membuka acara dengan prolog dan cerita singkat tentang KOPHILOSOPHIA. Kemudian Barista KOPIKAMU menyuguhkan prolog sekaligus ucapan selamat datang kepada para pengunjung. Lalu sentuhan denting gitar akustik dari mas Prawoto menjadi pengantar ke gerbang pintu diskusi yang santai tapi serius.
    Rosihan Fahmi memulai dengan cerita tentang sampeunya.“Ketika apa-apa yang kita konsumsi dengan pengetahuan yang kita miliki kadang-kadang ada yang sinkron juga tidak, artinya ini akan berhubungan dengan kesadaran kita sebagai manusia dalam mengkonsumsi sesuatu”. Pernyataan akhir yang ilmiah dan filosofis. Seorang audiens kemudian menceritakan tentang pengalaman bersama secangkir kopi. Baginya bukan kadar kafein, inspirasi, ketenangan yang dikejar tapi ada sensasi, bukan sensasi rasa, melainkan dampak psikis yang membuat hari pas buat berkegiatan.
    Konon biji kopi itu sendiri berawal dari bahasa arab, kohwah, yang arti dalam bahasa indonesia itu kekuatan yang kemudian banyak anggapan bahwa kopi itu adalah salah satu minuman penambah tenaga. Iman Abda, pegiat radio komunitas indonesia, menceritakan istrinya sebagai penikmat kopi. Bagi istrinya kopi itu tidak langsung diseduh penuh satu gelas tapi di kasih air sedikit lalu diaduk dan kemudian ditambah lagi air.
    Indra, seorang mahasiswa tingkat akhir dan pengopi yang pasrah, mengatakan bahwa kopi itu ibarat pamajikan(istri) dan tanpa ngopi dia menjadi bete. Karena kepasrahan itu dia meminum segala macam kopi, mau kopi sachet ataupun kopi tiis.
    Banyak dari para tamu yang menceritakan pengalaman kopi dalam keluarganya seperti Diecky, seorang komposer musik. Bagi keluarganya kopi itu adalah wajib. Dari secangkir kopi kedekatan antara orangtua dan anak itu semakin erat. Seseorang yang tadinya tidak terlalu dekat bisa jadi lebih dekat dan lebih leluasa menceritakan apapun.
    Giliran Heru Hikayat, kurator seni rupa internasional, bicara. Katanya, bagi orang Sunda istilah kopi tidak selamanya bermakna minum kopi. Istilah ngopi bisa juga bermakna ngemil. Ia juga menceritakan pengalamannya dalam satu project, yaitu 24 hours project. Di mana dia bersama beberapa temannya berdiam diri dalam satu ruangan selama 24 jam dan membicarakan segala hal sampai silsilah keluarga.  Sungguh luar biasa khasiat kopi bagi manusia. Moh. Safari Firdaus, film maker sekaligus sastrawan, menjadikan kopi sebagai pemacu kreatifitas sampai-sampai sebelum dia memulai kegiatan atau berbaur dengan kelompok diskusi kopi-lah yang pertama kali ia sapa. Adapula sensasi lain dari sekedar ketenangan, inspirasi, dan mempermudah pencernaan, yaitu getaran halus di tubuhnya. M. Iqbal, dosen psikologi UNPAD, merasakan sensasi tersebut. Ia bisa merasakan segala sesuatu itu sangat detail setelah meminum kopi.
    Bagi seorang Barista sebagus dan sekental apapun kopi tidak bakal menjadi spesial buat seseorang kalau suasana tempatnya ngopi itu tidak mendukung, dengan kata lain suasana pun menjadi penentu bagi kita untuk mendapatkan khasiat kopi yang luar biasa itu. Dari pendapat tersebut kita sepertinya harus sedikit teliti untuk memilih coffe shop atau kedai kopi. Bisa jadi rencana kita untuk melakukan sebuah kegiatan di tempat-tempat ngopi itu jadi amburadul.
    Sensasi yang menjadi pengalaman para audiens saling mengisi dan memberi pengertian baru. Ternyata kafein yang terkandung dalam secangkir kopi tidak selamanya membuat seseorang kehilangan rasa ngantuk, tidak selamanya memberi inspirasi, juga tidak selamanya merusak kesehatan. Kadang kopi membuat kita lebih jujur dalam mengungkapkan sesuatu, lebih tenang dalam menjalani hari.
    Lewat secangkir kopi yang diteguk para audiens diajak berkeliling dari aceh, lhoksemawe, timor-timur, belitong, bahkan arab dan itali. Diajak merasakan kembali peperangan di ethiopia. Diajak menyelami sensasi yang belum kita sadari. Diajak menyelami kopi yang “sehangat cinta dan sepahit maut”, begitu kata Heru Hikayat.
(Zidni Arfia Rahman)

Berawal dari Secangkir Kopi

Konon Sejarah mencatat bahwa penemuan kopi sebagai minuman berkhasiat dan berenergi pertama kali ditemukan oleh Bangsa Etiopia di benua Afrika sekitar 3000 tahun (1000 SM) yang lalu. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Indonesia sendiri telah mampu memproduksi lebih dari 400 ribu ton kopi per tahunnya. Di samping rasa dan aromanya yang menarik, kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu, dan berbagai penyakit jantung (kardiovaskuler).
Itu versi cerita sejarah, versiku…aku sudah mengenal kopi “sejak kecil”. Malah waktu masih kecil sempat pula menyaksikan dari mulai proses “nyangrai” kopi, lalu ditumbuk sampai halus pake lisung untuk kemudian diseduh pakai air panas… “cur” dari tungku. Kini, minum kopi menjadi konsumsi sehari-hari, dari mulai kopi kiloan sampai kopi sachet. Masing-masing ragam jenis kopi memang memberikan sensasi yang beragam.
Sampai saat ini, kehidupanku memang tak pernah jauh dengan kopi, paling tidak setiap pagi dan setiap kerja selalu ditemani dengan segelas kopi. Kalau ditanya, apa ada efek langsung dari minum kopi?...jawabanku adalah bikin nikmat. Apalagi si Aku perokok. Rasa-rasanya bagi si Aku, klo gak ngeroko sambil ngopi itu seperti pergi ke Mekah tapi gak ke Madinah, gak afdol!...Tapi klo kita mau ngorek-ngorek rada jauh dikit, misalkan kita pake pendekatan teori butterfly effect, kira-kira apa yang akan terjadi?... teori butterfly effect; istilah untuk sebuah teori Chaos. Istilah ini merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian. Fenomena ini juga dikenal sebagai sistem yang ketergantungannya sangat peka terhadap kondisi awal. Hanya sedikit perubahan pada kondisi awal, dapat mengubah secara drastis kelakuan sistem pada jangka panjang. Jika suatu sistem dimulai dengan kondisi awal dua maka hasil akhir dari sistem yang sama akan jauh berbeda jika dimulai dengan 2,000001 di mana 0,000001 sangat kecil sekali dan wajar untuk diabaikan. Dengan kata lain: kesalahan yang sangat kecil akan menyebabkan bencana dikemudian hari. Jika demikian (menggunakan teori ini dengan sembarang), klo difahami atau dirasakan dengan mengawali kehidupan dengan sebuah kenikmatan seperti menikmati secangkir kopi, kira-kira kebaikannya kelak yang akan terjadi seperti apa yah?
(Rosihan Fahmi, Tukang Filsafat Keliling dan Kepala Madrasah Manbaul-huda)