Senin, 28 Mei 2012

Ilusi Kekinian

agenda diskusi KOPHILOSOPHIA 18 Juli 2012

    Waktu yang dihayati sebagai yang linear akan menggerombolkan kata-kata setidaknya menjadi dua kubu yaitu lampau, dulu, kemarin, tadi, yang dapat dipisahkan secara ekstrem dengan besok, nanti, atau masa depan.
    Manusia modern, yang gandrung dengan cita-cita, ambisi, doa, efektif dan efisien(untuk tidak menyebutnya kuasa, hasrat, daya, mekanis dan rasional), seperti layaknya manusia pada masa peralihan dari kegelapan menuju terang, atau seperti memasuki masa perang dunia I dan II, membuat berbagai mitos penenangan untuk menaklukkan waktu. Yang lalu dianggap tidak lebih baik dari yang kini, yang nanti harus lebih baik dari yang sekarang. Pemangkatan percepatan seperti ini sepertinya sudah menjadi penyedap rasa wajib: tidak gurih tidak berasa, tidak bergerak tidak hidup. “Kamu kan bukan batu”, begitu sindir Iwan Fals agar segera mendapat jawaban, “iya atau tidak, itu saja.” Pelajarannya: cinta pun bisa sangat memaksa.  Jalur cepat, jalur lambat, slow down, cooling down, adalah seperti ritual sebelum semuanya kembali kepada percepatan yang nyaris tidak mungkin.
    Yang terberat adalah mengurai bombardir ilusi kekinian: kini yang mampu mengikat yang dulu dan sekaligus dengan serta merta meraih yang nanti.tidak hanya trainer, pemikir pun selalu terjebak di dalam ilusi ini.
    Terminologi ‘hadir’, ‘sein’, ‘mengada’, ‘otentik’, jika merujuk pada terminologi filsafat, yang kedalaman dan keluasannya harus dipahami dengan ketekunan dan kecermatan penghayatan terlebih dulu, bisa jadi hanya pemanis bibir sebelum tubuh yang satu kembali lintang pukang berjibaku kanan kiri.
    ‘Waktu timur’ yang siklis pun perlu dicurigai, apalagi kalau ia dipanggil dari jauh, seperti India, Cina, dan Jepang, semata hanya sebagai sebuah kata. Impor berbagai hal termasuk terminologi seperti ini, tanpa disertainya dengan adanya upaya untuk mengkaji lebih dalam konteks dan kesejarahan pemikiran tersebut hanya akan menjadi tambal sulam yang semakin carut marut. ‘Moksa’, ‘reinkarnasi’, atau versi modifikasi dari Nietzsche (1844 – 1900): ‘eternal return’ yang ia adaptasi dari sosok Zoroaster, nabi Persia hidup sekitar 1100 – 500 SM, untuk menyebut beberapa. Konsep waktu yang seolah ‘milik’ diri atau budaya sendiri pun pastinya memang harus lebih tajam dikritisi. Bukannya malah terbuka, tapi jadi berkaca mata kuda. Nyata atau maya, atau nyata yang maya, atau maya yang nyata. Atau maya pada, atau pada maya? Haha.  Mana satu yang tiada?
    Setidaknya, yang bisa kita lakukan adalah menelisik ulang tumpah tindih berbagai elemen biografis yang melibatkan pengalaman pribadi masing-masing, untuk perlu nantinya memberi batas apakah ilusi kekinian ini bekerja dengan mekanismenya yang dapat diindrai atau dinalar,  atau justru tidak. Jadi biarkan sajalah. Di ‘kini’ yang mana kita hadir? Karena toh yang ‘kini’ ini selalu melintas sebagai ‘hanya sekedar yang menjelang tadi’. Lintasan waktu kita yang selalu kritis inipun masih bisa dibentangkan, walau waktu tak pernah bisa ditaklukkan, kalau kita mau percaya bahwa diskusi ada gunanya.
    Termakankah kita oleh buaian ilusi kekinian, yang bisa jadi kita juga penjual dan kita juga pembelinya? Dari mana titik pandang yang paling bijak? atau memang tidak perlu?


Dien Fakhri Iqbal Marpaung

Sabtu, 12 Mei 2012

KEPEMILIKAN ATAU KEBERSAMAAN?

Agenda Diskusi 4 Juli 2012

    Kita sehari-hari tak pernas lepas dari topik ini sebenarnya. Mulai dari secangkir kopi dan teh dipagi hari. Siapa yang membuatnya, untuk siapa, milik siapa, atau bisakah kita cukup berbagi secangkir saja dan menikmati hari bersama?
    Terkadang kita ingin menikmati secangkir itu sendiri, tanpa harus berbagi. Adakalanya lebih menyenangkan bila kita berbagi.
    Ya, tentu saja bagi saya pribadi itu tergantung mood, situasi dan kondisi yang ada, serta dengan siapa. Terlebih bila orang itu meminta dengan cara yang baik dan berterima kasih dengan senyuman, berbagi itu menyenangkan.
    Saya pikir tak berbeda halnya dengan masalah yang lebih besar daripada secangkir kopi. Hal-hal seperti hak kekayaan intelektual, hak cipta, hak paten dan lain sebagainya.
    Siapa yang membuat? Siapa yang dapat mempergunakan? Siapa yang berhak membuat? Siapa yang berhak menerima keuntungan?
    Ada beberapa kasus yang saya ingat sempat hangat diperbincangkan. Salah satunya mengenai sengketa panjang antara negara kita dengan negara tetangga Malaysia. Saat tari pendet yang merupakan tarian yang berasal dari tanah Bali, muncul dalam iklan pariwisata Malaysia. Hal lain, saat dihancurkannya situs-situs berbagi-pakai file atas dasar perundang-undangan anti pembajakan yang baru-baru ini dikeluarkan Amerika.
    Pemikiran-pemikiran muncul dalam benak saya. Di satu sisi bila dilihat dari hal yang terjadi antara Indonesia-Malaysia, kita (Indonesia) merasa telah dirugikan. Telah dilanggar haknya karena keberasalan tari Pendet yang adalah hasil budaya bangsa ini telah dipergunakan dengan tanpa permisi untuk kepentingan dan keuntungan bangsa lain (Malaysia).
    Di sisi lain hal yang terjadi dengan pengesahan undang-undang SOPA dan PIPA yang dilakukan Amerika, telah membuat hampir sebagian besar warga dunia dirugikan (saya maksudnya). Situs-situs berbagi-pakai yang telah menjadikan saya merasa setidaknya sedikit lebih pintar berkat buku-buku gratis yang selama ini mudah didapat, kehilangan sumber kepintaran saya yang hanya sedikit itu.
    Tetapi tentu saja itu dibenarkan. Bagaimana tidak, hak cipta adalah hal yang harus dihormati dan undang-undang harus dipatuhi. Sebab ketika buku-buku yang seharusnya dibeli dan keuntungan diberikan pada mereka yang telah susah payah bekerja membuatnya, orang-orang yang tidak ikut bekerja membagikan dengan gratis sesuka hati mereka. Tentu saja itu melanggar hak.
    Akan tetapi dilihat dari sisi lain, informasi yang selayaknya diperuntukkan bagi semua golongan telah diputus. Informasi, kemudian jadi hanya tersedia bagi mereka yang memiliki biaya, tentunya.
    Lalu dimana letak batas yang seharusnya dibuat? Apakah memang kita harus terus mempertahankan dan menjagai apa yang memang dirasa milik kita? Apakah kita harus selalu menentukan kapan saat yang tepat untuk merasa memiliki, meminta hak atas kepemilikan kita? Atau kita serahkan saja pada orang-orang yang memiliki kuasa untuk menentukannya bagi kita? Atau apakah kita bisa cukup hidup dengan keberbagian, kebersamaan saja?
Atau apa? Bagaimana? Mungkinkah?
Ah, mungkin ocehan saya tak perlu dihiraukan.


Permata Andhika Raharja

IKATAN

 Agenda Diskusi 20 juni 2012

(1)    
Sekitar lima tahun lalu, ketika salah satu om saya meninggal, saya meminta izin kantor untuk meninggalkan pekerjaan saya pada hari itu agar bisa melihat jasadnya untuk terakhir kali dan menghadiri pemakamannya. Tidak hanya saya, keluarga yang tinggal di seberang lautan pun berusaha semaksimal mungkin untuk datang; mencari dan memesan tiket pesawat dengan jadwal tercepat, takhirau meski biaya tiket yang dikeluarkan dua kali lipat harga jika memesan jauh-jauh hari. Keluarga yang masih memiliki anak kecil, jika sang anak tidak dapat dibawa serta, berupaya mencari sahabat atau kolega dimana ia dapat menitipkan anaknya sementara ia sedang melayat sang om. Singkatnya, kami, dari segala penjuru, berkumpul di rumah om pada hari itu untuk melihatnya terakhir kali, mendoakan,dan menghibur istri dan anak yang ditinggalkan. Sebab kami merasa memiliki ikatan kekeluargaan.

(2)      
Ketika kita dilahirkan ke dunia ini, senyum indah menyertai kita. Tiada kata yang dapat terucapkan selain senyum gembira melihat keajaiban yang begitu besar ini. Mimpi, harapan, dan cita-cita pun tersirat untuk kita di dalam hati orang tua. Pengorbanannya sangat luar biasa membesarkan kita. Seluruh keringat dan lelahnya hanya untuk kita. Saat kita lahir, separuh nyawa dikorbankannya untuk menghadirkan kita ke dunia. Ini adalah kalimat pembuka sebuah rekam gambar yang berjudul “Pengorbanan Ibu saat Melahirkan hingga Anaknya Dewasa”. Cerita tentang para ibu yang tetap mencurahkan kasih sayangnya pada anak, bagaimanapun perilaku anak itu terhadapnya, adalah cerita nyata yang selalu mengharukan. Pengorbanan itu tidak hanya hadir, namun juga diiringi dengan senyum tulus. Mengapa itu bisa terjadi? Mungkin, karena adanya ikatan darah.

(3)    
Di antara sejumlah kawan yang pernah hadir dan mengisi hari-hari kita, mungkin ada beberapa kawan yang kehadirannya memiliki makna lebih dalam dibanding yang lainnya. Bersama mereka, kita dapat berbagi cerita hingga rahasia apapun.  Bersama mereka, ada perasaan nyaman yang tidak didapatkan bila bersama kawan-kawan yang lain. Hubungan ini biasanya kita namai dengan ikatan persahabatan.

(4)
Dua orang yang memiliki ketertarikan satu sama lain, lalu masing-masing melihat ada “masa depan” di mata  yang lainnya, bersepakat “menyatukan diri” melalui ikatan pernikahan.

***
Kata ikatan juga kerap dipakai untuk nama perkumpulan, seperti ikatan dokter Indonesia, ikatan akuntan Indonesia, ikatan alumni (unpad, itb), dan lainnya. Bila dalam KBBI kita mendapati definisi “ikat” adalah tali (benang, kain, dsb) untuk mengebat (menyatukan, memberkas, menggabungkan), dan “ikatan” adalah adalah (sesuatu) yang telah diikat; cara mengikat , lalu, apa makna “ikatan” dalam hubungan antar manusia? Mengapa manusia mau terikat atau mengikatkan diri dalam “ikatan”? Apa dampak dari adanya “ikatan” ini? Haruskah “ikatan” itu ada? Apa bedanya “ikatan” dengan “belenggu” yang memiliki definisi sesuatu yang mengikat (KBBI)? Mengapa dinamai dengan "ikatan", mengapa bukan "belenggu" (belenggu kekeluargaan, belenggu darah, belenggu pernikahan, dst)? Apakah "ikatan" itu berlawanan dengan "kebebasan"? Atau justru berlawanan dengan "perpisahan"? Lalu, jenis ikatan apa saja yang kamu sekarang ada di dalamnya? Apakah kamu merasa mengikatkan diri atau terikat (baca: terjebak) dalam ikatan itu?

Salam,


Ananda Putri Bumi

RUMAH



Agenda Diskusi 6 Juni 2012


dalam rumah ini, aku selalu bercakap dengan cermin.
selalu berkaca, menerka-nerka siapa yang akan tiba
dan bertanya tentang tidurku tadi malam:

                “karena selalu ada mimpi tentang senja, jatuh
berserakan, seperti kepingan doa yang recah bertanggalan
dari atap-atap rumah kita.”

di sana tersimpan wajahku. sendiri saja. mengunyah
usia: melepas segala musim dan peristiwa—

dan di setiap pagi aku hanya menjelma sebagai buih
embun yang menguap dari pucuk-pucuk cemara: kucumbui
langit, kukencani bunga-bunga. kuguntingi matahari,
kujadikan pilar-pilar pagoda—

berharap hinggap di keluasan cahaya: rumah
yang akan mempertemukan kita.

                “tuhan, tak adakah cemas yang lebih sempurna?”


1993/1998

MENCURI KEPINGAN WAKTU

Agenda Diskusi 23 Mei 2012

        Fotografi kini menjadi semakin mudah dengan kian majunya teknologi digital. Proses penguasaan teknik fotografi yang dulu membutuhkan waktu cukup lama, kini dapat dilalui dalam tempo yang relatif jauh lebih singkat. Ditambah lagi dengan semakin pesatnya pertumbuhan dunia jejaring sosial sebagai salah satu media yang paling populer untuk saling berbagi imaji. Orang semakin bersemangat memotret, untuk kemudian dibagi dengan teman-teman di dunia maya.

        Dari mulai foto kegiatan komunal, keseharian, makanan kegemaran, hewan peliharaan, acara nongkrong dengan teman, sampai jenis-jenis foto artistik dengan teknik mumpuni, semua dapat kita temui di internet. Jejaring sosial semacam Facebook, Twitter, deviantART, hingga Instagram yang baru-baru ini meroket popularitasnya, siap memfasilitasi para pengguna untuk mempublikasikan foto pada dunia.

        Kita berada dalam sebuah pusaran badai imaji. Bingkai-bingkai gambar menerjang penglihatan kita, nyaris tanpa kendali. Tiap orang kini bisa memotret sambil lalu, kemudian mempublikasikannya secara instan pada jejaring sosial mana saja yang dia hendaki. Lalu apa yang istimewa dari fotografi kini? Dalam bisingnya hiruk pikuk visual ini, apakah makna sekeping imaji?


Desiyanti Wirabrata

KESENDIRIAN

Agenda Diskusi 9 Mei 2012   


Sendiri. Tak ada sesiapa. Solitude. Dikatakan manusia adalah mahkluk sosial, yang hakikatnya adalah berkawan, berkelompok, namun kesendirian adalah keniscayaan. Kesendirian memaksa kita untuk mandiri, self-sufficient, tak bergantung pada orang lain, secara fisik maupun emosional. Kita sering melihatnya di film-film. Tokoh utama yang penyendiri, tidak bergantung pada siapapun, melawan mayoritas yang korup. Mereka senantiasa berada dalam kesendirian.

    Kesendirian seringkali beririsan dengan kesepian. Pada dasarnya, kesendirian dan kesepian berbeda. Kesendirian adalah keadaan tanpa ditemani oleh orang lain, sedangkan kesepian adalah perasaan sepi, jiwa yang kosong, kering, dan dingin. Wajarnya, kita bisa menikmati kesendirian, namun bagi jiwa-jiwa yang kesepian, kesendiran adalah siksaan yang membuat tubuh terasa berat, paru-paru memaksa menghela nafas panjang, dan pikiran negatif menyergap dari segala penjuru ruang.

Di saat-saat tertentu dalam hidup kita, kita butuh kesendirian. "Everybody needs some time on their own..." --Gun 'n Roses - November Rain.


Dan tak perlu sendirian untuk merasa kesepian. "Di tengah keramaian aku masih merasa sepi..." --Dewa - Kosong.

    Hari-hari ini, seiring dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi langsung semakin digantikan dengan komunikasi sekunder. Seorang teman pernah berkata, "Facebook itu menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh." Senada dengan itu, pernah juga kutemui kutipan di internet yang menyatakan bahwa "being online means being alone together." Jutaan orang terhubung satu sama lain, dan semuanya berada dalam kesendiriannya masing-masing.

    Jiwa yang sehat dapat menikmati kesendirian. Kesendirian saat menulis, saat membaca, saat bermain game, saat jalan-jalan, dsb. Namun, perhatikanlah bahwa ada kesendirian palsu yang hadir menutupi rasa kesepian. Semacam berkata, "Aku sendiri karena aku memang ingin sendiri", padahal sebenarnya, "Aku sendiri karena tidak ada yang mau menemaniku."

"I work alone."

 "By choice? Or because nobody else can stand you?"
    Sudah diketahui umum bahwa loners are freaks. Suka menyendiri sering diasosiasikan dengan berbagai personality disorder seperti avoidant personality disorder, social anxiety, dan schizoid personality disorder.

    Jadi, para penyendiri yang terlihat keren di film-film itu mungkin sebenarnya punya masalah psikologis yang cukup parah.



Harun Suaidi Isnaini, 8 Mei 2012
Ditulis dalam kesendirian dan badan ayang agak meriang